10 HADITS
Hadits
ke- 1
عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . )
رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).
Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah
orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa
(artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di
atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar al Qur’an dan
mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu
diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya
adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja
ataw yang mengajarkan alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya
mendapatkan derajat keutamaan yang sama .
Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan
agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah
mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan
kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja.
Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id bin
Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al
Qur’an tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang
lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang dikaruniakan
kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.
Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya,
sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga harus
diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada segala-galanya.
Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam hadist
yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia telah menyimpan
ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata,
“Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta terhadap al
Qur’an didalam hatinya.
Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang
yang akan mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan
yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang yang
mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya hingga
masa tua.
Hadits ke-2
عَن اَبٍي سَعيدٍ رَضَي اللٌهُ عَنهٌ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌه صَلٌى اللٌه عَلَيهٍ وَسَلٌمَ يَقُولُ الرَبُ تَبَاَركَ وَتَعَالى مَن شَغَلَهُ الُقرُانُ عَن ذَكرِي وَمَسْئلَتيِ اَعطَيتُه اَفضَلَ مَا اُعطِي السْاَئِلينً وَفَضلُ كَلآمِ اللٌه عَلى سَائِرِ الكَلآمِ كَفَضلِ اللٌه عَلى خَلقِه (رواه الترمذي والدارمي والبيهقي في الشعب ).
Dari Abu Sa’id r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman,
‘barang siapa yang disibukan oleh al Qur’an daripada berdzikir kepada-Ku dan
memohon kepada-Ku, maka Aku berikan kepadanya sesuatu yang lebih utama daripada
yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon kepada-Ku dan keutamaan kalam
Allah diatas seluruh perkataan adalah seumpama keutamaan Allah atas
makhluk-Nya.” (Hr. Tirmidzi, DArami, dan Baihaqi)
Orang yang sibuk menghafal, mempelajari, atau memehami al Qur’an sehingga tidak
sempat berdo’a, maka Allah akan memberinya sesuatu yang lebih utama daripada
yang Dia berikan kepada orang yang berdo’a. sebagaimana dalam urusan keduniaan,
jika seseorang akan membagikan kue atau makanan kepada orang banyak, lalu ia
menunjuk seseorang untuk membagikannya, maka bagian untuk petugas yang
membagikan itu akan disisihkan lebih dulu. Mengenai ketinggian orang yang
selalu sibuk membaca al Qur’an telah disebutkan di dalam hadits lain, bahwa
Allah akan mengaruniakan kepadanya pahala yang lebih baik daripada pahala orang
yang selalu bersyukur.
Hadits ke-3
عَن عُقبةً بنِ عَامِرٍ رَضيِ اللٌهٌ عَنهٌ قَالَ خَرَجَ عَلَينًا رَسُولٌ اللٌه صَلْي اللٌه عَلَيهِ وَسَلٌمَ وَنخَنُ فيِ الصفٌةِ فَقَالَ اَيٌكُم يُحبٌ اَن يَغدُ وَ كُلٌ يَومٍ اِلي بُطحَانَ اَواَلى الَعقَيقَ فَيَاٌتيِ بِنَاقَتَينِ كَومَاوَينِ فِي غَيِر اِثمٍ وَلآ قَظيعَةِ رَحَمٍ فَقُلنَا يَارَسُولَ اللٌهِ كُلٌنَا نُحِبٌ ذَالِكَ قَالَ اَفَلآ يَغدُو اَحَدُكُمَ اِلَى المسَجِدِ فَيَتَعَلَمَ اَوفَيَقَرٌاَ ايَتَينِ مِن كِتَابِ اللٌه خَيرٌلَه مِن نَاقَتَينِ وَثَلآثُ خَيرُلَه مِن ثَلآثٍ وَاَربَعُ خَيرُلَه من اربع ومن اعدادهن من الأبل .(رواه مسلم وابو داوود).
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia menceritakan, “Rasulullah saw. Datang
menemui kami di shuffah, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah diantara kalian yang
suka pergi setiap hari ke pasar Buth-han atau Aqiq lalu ia pulang dengan
membawa dua ekor unta betina dari jenis yang terbaik tanpa melakukan satu dosa
atau memutuskan tali silaturahmi?’ Kami menjawab, Ya Rasulullah, kami semua
menyukai hal itu.’ Rasululullah saw. Bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari
kalian tidak kemasjid lalu mempelajari atau membaca dua buah ayat al Qur’an
(padahal yang demikian itu) lebih baik baginya dari pada dua ekor unta betina,
tiga ayat lebih baik dari tiga ekor unta betina, dan begitu pula membaca empat
ayat lebih baik baginya daripada empat ekor unta betina, dan seterusnya
sejumlah ayat yang dibaca mendapat sejumlah yang sama dari unta-unta.” (Hr.
Muslim dan Abu Dawud)
Shuffah adalah sebuah lantai khusus di Masjid Nabawi tempat orang-orang
miskin Muhajirin tinggal. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlush
Shuffah (orang-orang shuffah). Jumlah sahabat ahlush
shuffah selalu berubah dari waktu ke waktu. ‘Allama Suyuti rah.a. telah
menyusun seratus
satu nama sahabat yang tinggal di Shuffah, dan ia menulis tentang mereka di
dalam risalah tersendiri. SedangkanButh-han dan Aqiq adalah
nama dua buah tempat di Madinah sebagai pasar perdagangan unta. Orang Arab
sangat menyukai unta, terutama unta betina yang berpunuk besar.
Maksud ‘tanpa melakukan suatu dosa’ adalah mendapatkan sesuatu dari orang lain
tanpa usaha atau berkorban. Bukan harta yang bertambah melalui pemerasan,
pencurian, atau merampas warisan sesama saudara. Oleh karena itu, Rasulullah
saw. Menyatakan dalam sabdanya, bahwa unta itu diperoleh tanpa bersusah payah
sama sekali dan tanpa berbuat suatu dosa pun. Sudah pasti memperoleh harta
dengan cara demikian lebih disenangi oleh semua orang. Akan tetapi Nabi saw.
Menyatakan bahwa mempelajari beberapa ayat al Qur’an itu lebih baik dan lebih utama
daripada mendapatkan semua itu.
Hendaknya kita meyakini hal ini, bahwa keutamaan dan pahala mempelajari al
Qur’an tidaklah sebanding dengan seekor atau dua ekor unta, bahkan dengan
kerajaan seluas tujuh benua sekalipun. Karena semua itu pasti akan ditinggalkan,
jika bukan hari ini tentu hari esok saat maut menjemput semuanya terpaksa harus
berpisah. Sebaliknya, pahala membaca satu ayat Al Qur’an akan bermanfaat untuk
selama-lamanya. Dalam urusan keduniaan, kita dapat saksikan bahwa orang orang
yang diberi satu rupiah tanpa beban tanggung jawab apapun akan lebih senang
daripada dipinjami seribu rupiah agar disimpannya tetapi kelak akan diambil
lagi, karena ia hanya dibebani amanah tanpa mendapat manfaat sedikitpun.
Hadits diatas intinya adalah mengingatkan kita akan perbandingan sesuatu yang
fana dengan sesuatu yang abadi. Ketika seseorang sedang sedang diam atau
bergerak, hendaknya selalu berfikir apakah ia sedang berbuat sesuatu yang
hasilnya sementara dan sia-sia atau sesuatu yang hasilnya kekal dan bermanfaat?
Betapa rugi jika kita gunakan waktu hanya untuk menghasilkan bencana yang
abadi.
Kalimat terakhir didalam hadits di atas menyebutkan bahwa jumlah ayat yang sama
tetapi lebih utama daripada jumlah untanya. Kalimat itu mengandung tiga maksud,
yaitu:
1) Walaupun sampai jumlah empat ayat saja yang disebutkan secara terperinci,
tetapi maksudnya adalah semakin banyak jumlah ayat yang dibaca akan semakin
semakin banyak pahala yang diperoleh. Dalam pengertian ini, semua unta sama,
baik jantan maupun betina.
2) Jumlah untanya sama dengan jumlah yang disebutkan dalam hadits diatas,
tetapi untanya bergantung pada selera masing-masing. Ada yang menyukai unta
betina ada yang menyukai unta jantan. Oleh sebab itu, Nabi saw. Menegaskan
bahwa satu ayat lebih berharga daripada seekor unta betina. Jika seseorang
menyukai unta jantan, maka satu ayat lebih baik daripada unta jantan.
3) Jumlahnya tidak lebih dari empat, tetapi pengertiannya bukan saja lebih baik
daripada unta betina atau unta jantan, tetapi lebih baik daripada keduanyanya.
Jelasnya, membaca satu ayat lebih baik daripada sepasang unta jantan dan unta
betina. Demikianlah seterusnya, setiap ayat lebih utama daripada sepasang unta.
Ayah saya (nawwarullaahu marqadahu) lebih setuju dengan pendapat ini,
sebab lebih banyak keutamaannya. Namun walaupun demikian, tetap tidak dapat
disamakan antara membaca satu ayat al Qur’an dengan satu ekor atau dua ekor
unta. Ungkapan ini sekedar gambaran dan contoh saja. Sebelumnya telah jelaskan
bahwa satu ayat al Qur’an akan memperoleh pahala abadi yang lebih utama dan
lebih baik daripada kerajaan seluas tujuh benua yang fana ini.
Mulla Ali Qari rah.a.menulis tentang seorang syaikh yang sedang
bersafar. Ketika tiba di Jeddah, ia diminta oleh para pengusaha kaya agar
tinggal lebih lama di tempat mereka, agar harta dan perniaganya mendapat berkah
karena kehadiran seorang syaikh.
Pada mulanya syaikh menolak tawaran mereka, tetapi setelah didesak akhirnya
syaikh berkata, “Berapakah keuntungan tertinggi dari perniagaan kalian?” jawab
mereka, “penghasilan kami berbeda, setidaknya kami bias mendapatkan keuntungan
dua kali lipat.” Syaikh itu berkata, “kalian ini bersusah payah untuk mendapat
keuntungan yang sedikit. Aku tidak menghendaki karena sesuatu yang sedikit ini
aku harus kehilangan shalatku di Masjidil Haram yang pahalanya dilipatgandakan
hingga seratus ribu kali.”
Hakikat inilah yang harus dipikirkan oleh setiap kaum muslimin, sehingga mereka
tidak mengorbankan keuntungan agama demi mendapatkan keuntungan dunia yang
sedikit ini.
Hadits ke-4
عَن عَائِشَةَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم الَماهر باِلقُرانِ مَعَ السَفَرَةَ الكِرَامِ الَبَرَرَةِ وَاٌلَذِي يَقُراٌ القُرانَ وَيَتَتَعتَعُ فِيه وَهُوَ عَلَيهِ شَاقٌ لَه اَجَران (رواه البخارى ومسلم وابو داوود والترمذى وابن ماجه).
Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah saw.bersabda , “Orang yang
ahli dalam al Qur’an akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi
benar, dan orang terbata-bata membaca al Qur’an sedang ia bersusah payah (mempelajarinya),
maka baginya pahala dua kali.” (Hr. bukhari, Nasa’I, Muslim, Abu Daud,
Tarmidzi, dan ibnu Majah)
Maksud orang yang ahli dalam al Qur’an adalah orang yang hafal al Qur’an dan
senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.
Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk golongan yang
memindahkan al Qur’an al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia menyampaikannya
kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan demikian, keduanya memiliki
pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan bersama para malaikat pada
hari Mahsyar kelak.
Orang yang terbata-bata membaca al Qur’an akan memperoleh pahala dua kali; satu
pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya mempelajari al Qur’an
berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya melebihi pahala orang yang ahli al
Qur’an. Orang yang ahli al Qur’an tentu saja memperoleh derajat yang istimewa,
yaitu bersama malaikat khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan
bersusah payah mempelajari al Qur’an akan menghasikan pahala ganda. Oleh karena
itu, kita jangan meninggalkan baca al Qur’an, walaupun mengalami kesulitan
dalam membacanya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi,
“Barang siapa membaca al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan memperoleh
pahala dua kali lipat. Dan barang siapa benar-benar ingin menghafal al Qur’an,
sedangkan ia tidak mampu, tetapi ia terus membacanya, maka Allah akan
membangkitkannya pada hari Mashyar bersama para hafizh al Qur’an.
Hadits ke-5
عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه).
Dari Ibnu Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak
diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang
dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal al Qur’an). Lalu ia membacanya
malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia
menginfakannya pada malam dan siang hari.” (Hr. Bukhari, Tarmidzi, dan
Nasa’i)
Dalam al Qur’an dan hadits banyak diterangkan bahwa hasad atau iri hati yang
hukumannya mutlak dilarang. Sedangkan menurut hadits diatas, ada dua jenis
orang yang kita boleh hasad terhadapnya.
Karena banyak riwayat yang terkenal mengenai keharaman hasad ini, maka alim
ulama menjelaskan hasad dalam hadist ini dengan dua maksud:
Pertama, hasad diartikan risyk yang dalam bahasa arab
disebut ghibtah. Perbedaan antara hasad dan ghibtah yaitu:
hasad adalah jika seseorang mengetahui ada orang lain memiliki sesuatu, maka ia
ingin agar sesuatu itu hilang dari orang itu, baik ia sendiri mendapatkannya
atau tidak. Sedangkan ghibtah ialah seseorang yang ingin
memiliki sesuatu secara umum, baik orang lain kehilangan atau pun tidak. Karena
secara ijma’ hasad adalah haram, maka para ulama mengartikan
hasad dalam hadits diatas dimaksudnya adalah ghibtah yang
dalam urusan keduniaan dibolehkan, sedang dalam masalah agama adalah mustahab (lebih
disukai).
Kedua, mungkin juga maksudnya sebagai pengandaian. Yakni seandainya
hasad itu dibolehkan, maka bolehlah hasad terhadap dua jenis tersebut diatas.
Hadits ke-6
عَن اَبي مُوُسى رَضي اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم مَثَلُ المُومِنِ اٌلَذِي يَقَراُ القُرانَ مَثَلُ الآترُجَةِ رِيحُهَا طيِبُ وَطَعمُهَا طَيِبُ وَمَثَلُ الموُمِنِ اٌلَذِي لآيَقرَاٌ القُرانَ كَمَثَلِ التَمرَة لآريَح لَهَا وَطَعمُهَا حُلوٌ وَمَثَلُ المُنَافِقِ اٌلَذِي يَقرَأ القُرانَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيّبٌ وَطَعْمُهَا مُرُّ وَمَثَلُ المُنَافق اّلذِي لا يَقْرَأُ القُرْانَ كَمَثِلِ الحَنُظلَةِ لَيسَ لَهَا رِيحُ وطعمها مُرُّ. (رواه البخارى ومسلم والنسائي وابن ماجة). Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa
Rasulullah saw. Bersabda, “perumpamaan orang mu’min yang membaca al Qur’an
adalah seperti jeruk manis yang baunya harum dan rasanya manis. Perumpamaan
orang mu’min yang tidak membaca al Qur’an adalah seperti kurma, tidak berbau
harum tetapi rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca al Qur’an
adalah seperti bunga, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang
munafik yang tidak membaca al Qur’an seumpama buah pare, tidak berbau harum dan
rasanya pahit.” (Hr. Bukhari, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah)
Hadits diatas menunjukan perbandingan antara sesuatu yang abstrak dengan yang
nyata, sehingga dapat lebih mudah dibedakan antara orang yang membaca al Qur’an
dan yang tidak membacanya. Padahal jelas bahkelezatan tilawat al Qur’an jauh
berbeda dengan kelezatan apa pun di dunia ini, seperti jeruk dan kurma. Tetapi
banyak rahasia dibalik tamsil hadits yang menjadi saksi terhadap ilmu Nubuwwah dan
luasnya pemahaman Nabi saw. Misalnya: jeruk mengharumkan mulut, menguatkan
pencernaan, membersihkan lambung, dan sebagainya. Semua manfaat itu juga
dihasilkan oleh pembaca al Qur’an, yaitu mewangikan mulut, membersihkan
batin,dan menguatkan ruhani. Keistimewaan lainnya dari buah jeruk adalah bahwa
jin tidak dapat memasuki rumah yang didalamnya terdapat jeruk. Jika benar maka
hal ini merupakan suatu keserupaan khusus pada al Qur’an. Saya mendengar dari
beberapa dokter ahli yang mengatakan bahwa jeruk manis dapat menguatkan
ingatan. Dan menurut riwayat Ali r.a. dalam al Ihyadisebutkan
bahwa ada 3 hal dapat menguatkan ingatan, yaitu: (1) Bersiwak; (2) Shaum; dan
(3) Membaca al Qur’an.
Sebagai penutup hadits diatas, dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa sahabat
yang baik adalah seperti penjual minyak kasturi. Meskipun tidak memiliki
kasturi tetapi jika berdekatan dengannya akan mendapatkan wanginya. Sahabat
yang buruk adalah seperti pandai besi, meskipun tidak terkena apinya tetapi
jika berdekatan dengannya akan terkena asapnya. Karena itu sangat penting untuk
diperhatikan siapakah sahabat dan teman bergaul kita
Hadits ke-7
عَن عُمَرَ بنِ الخَطٌاَبِ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولٌ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنَ اللٌهَ يَرفَعُ بِهذَ االكتَاِبِ اَقَوامًا وَيَضَعُ بِه اخَرِينَ (رواه مسلم)
Dari Umar r.a berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Allah mengangakat
derajat berapa kaum melalui kitab ini (al Qur’an) dan Dia merendahkan beberapa
kaum lainnya melalui kitab ini pula.” (Hr. Muslim)
Barang siapa yang beriman dan beramal dengan al Qur’an, niscaya Allah akan
mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di akhirat. Dan siapa saja
yang tidak beramal dengan al Qur’an, maka Allah pasti menghinakannya. Allah
Swt. Menyatakan dalam al Qur’an,
...يُضل به كثيراً ويهدي به كتيراً....
“… dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan (dengan
perumpamaan itu pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk…” (Qs. Al
Baqa-rah [2] : 26)
Firman lainya:
وننزل من القران ما هو شفا ء ور حمة للمو منين ولا يز يد الظلمين الا خسا را................؟
“dan Kami turunkan dari al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman, dan al Qur’an itu tidak menambah bagi
orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Qs. Al Isra [17]:
82)
Ulama bahwa jika seseorang mulai membaca satu surat dalam al Qur’an, maka
malaikat mulai memohonkan rahmat untuknya dan mereka akan terus dalam keadaan
berdoa untuknya sampai ia selesai membacanya. Tetapi ada pula seseorang yang
mulai membaca suatu surat dalam al Qur’an, namun malaikat mulai melaknatnya
sampai ia selesai membacanya.
Menurut sebagian ulama, terkadang ada seseorang membaca al Qur’an tetapi tanpa
disadari ia telah memohon laknat untuk dirinya sendiri terus menerus, misalnya
ia membaca ayat al Qur’an yang berbunyi:
ألا لعنةُ الله علىَ الظَّالمينَ
“Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang
zalim.”(Qs.Hud[11]:18)
Sementara ia sendiri berbuat zhalim, maka laknat Allah pun menimpanya.
Atau ayat lain yang berbunyi:
{ لعنة الله علي ا لكاذبين }.....
“laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang berdusta.” (Qs.
Ali Imran [3]:61)
Sedangkan ia sendiri suka berdusta, maka ia pun terkena laknat itu.
Amir bin Watsilah r.a. menceritakan bahwa Umar r.a. telah
mengangkat Nafi’ bn Abdul Haris sebagai walikota Makkah Mukharamah. Suatu
ketika Umar bertanya kepada Nafi”, “Siapakah yang dijadikan Pengurus kawasan
kawasan hutan?” “Ibnu Abza r.a., “jawab Nafi’. Umar r.a bertanya lagi,
“Siapakah Ibnu Abza itu?” Nafi menjawab, “Ia adalah seorang hamba sahaya.” Umar
r.a. bertanya, “Mengapa engkau mengangkat seorang hamba sahaya sebagai
pengurus?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah hamba sahaya yang senang membaca al
Qur’an.” Mendengar jawaban itu, Umar r.a. langsung menyebutkan sabda Rasulullah
saw., “Melalui al Qur’an, Allah menghinakan banyak orang dan mengangkat derajat
banyak orang.”
Hadits ke-8
عَن عَبِد الَرحمنِ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ عَنِ الٌنِبيِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ ثَلآثُ تَحتَ العَرشِ يَومَ القَياَمةَ القُرانُ يُحَاجُّ العِبَادَ لَه ظَهرٌ وَبَطُنٌ وَالأمَاَنُةٌ وَالرَّحِمُ تُنَادِيُ ألآ مَنُ وَصَلَنيِ وَصَلَهُ اللٌهُ وَمَن قَطَعنيِ قَطَعَهً اللٌهُ. (روى في شرح السنة)
Dari Abdur Rahman bin Auf r.a. dari Nabi saw.. “Ada tiga hal yang akan
berada di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari kiamat: (1) al Qur’an yang akan
membela hamba Allah dan ia mempunyai zhahir dan batin: (2) Amanat: dan (3)
Silaturahmi yang akan berseru, “Ingatlah! Siapa yang menghubungkan aku, maka
Allah menghubunginya, dan siapa yang memutuskan aku, maka Allah memutuskannya.”
(Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).
Maksud ‘tiga hal yang berbeda di bawah Arsy’ adalah sempurnanya kedekatan
ketiga hal itu kepada Allah, yakni sangat dekat dengan Arsy Allah.
Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan al Qur’an, menunaikan
hak-haknya, dan mengamalkan isinya, maka al Qur’an pasti akan membelanya di
hadapan Allah dan akan mensyafa’atinya serta meninggikan derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa ahli al Qur’an kelak
akan datang pada hari Kiamat. Lalu al Qur’an memohon kepada Allah, “Ya Allah,
berilah ia pakaian!” maka di pakaikan mahkota kemuliaan kepada orang itu.
Kemudian al Qur’an memohon lagi, “Ya Allah tambahkanlah untuknya!” maka
dipakaikan kepadanya pakaian kemuliaan. Al Qur’an pun memperoleh ridha dari
orang yang kita cintai di dunia ini, rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih
besar dari pada itu. Demikian juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat
mengalahkan ridha Allah, kekasih kita?
Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak al Qur’an, maka al Qur’an akan
menuntutnya, “apakah engkau telah memuliakan aku? Apakah engkau telah
menunaikan hak-hakku?” dalam Syarah Ihya di nyatakan bahwa hak
al Qur’an adalah di khatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka yang
melalaikan al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni bagaimanakah kita
menjawab tuntutan sekeras ini? Padahal maut itu pasti datang, dan tidak ada
tempat untuk lari darinya.
Maksud al Qur’an memiliki zhahir dan batin’ ialah: zhahir al Qur’an yaitu makna
al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Sedangkan bati al Qur’an
maksudnya adalah makna al Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh semua orang.
Mengenai hal ini, Rasulullah saw. Bersabda, “barang siapa mengemukakan
pendapatnya sendiri tentang isi al Qur’an, maka ia telah melakukan kesalahan
walaupun pendapatnya itu benar.” Ulama berpendapat bahwa maksud ‘zhahir al
Qur’an’ adalah lafazh-lafazh al Qur’an yang dapat di baca oleh semua orang.
Sedangkan batin al Qur’an adalah makna atau maksud al Qur’an yang dapat
dipahami menurut keahlian masing-masing.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka pikirkan dan
renungkanlah makna-makna al Qur’an, karena di dalamnya terkandung ilmu
orang-orang dahulu dan sekarang.” Namun untuk memahaminya, kita mesti
menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu. Jangan seperti pada zaman
sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa
Arab, bahkan sekedar melihat terjemahan al Qur’an, seseorang berani menafsirkan
al Qur’an dengan pendapatnya sendiri.
Alim ulama berkata, “untuk dapat menafsirkan al Qur’an di perlukan keahlian
dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas ke lima belas ilmu itu
semata-mata agar diketahuai bahwa tidak mudah bagi setiap orang memahami makna
batin al Qur’an ini.
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti
setiap kata al Qur’an. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang
tentang ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan
tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai
arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata
itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu
nahwu, karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu
nahwu.
3. Ilmi Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf
sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah
maknanya. Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf,
berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir,
Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang
menerjemahkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
{ يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِامَامِهِم}
“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat
dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan
ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan
ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin)
yang merupakan bentuk mufrad(tunggal) adalah bentuk memahami
ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai
ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah
penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang
berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal
dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakan
tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang
berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena
dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang
zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa.
Ketiga bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang
sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Qur’an adalah mukjizat yang
agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan al Qur’an dapat diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena
perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna
paling tepat diantara makna-makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini
mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya
tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil
ayat itu, seperti ayat yang berbunyi:
{ يدق الله فوق إيديهم }
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting,
karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu
ayat.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala maksud suatu
ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari
suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan
menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang
menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada
hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi saw.,
مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ وَرَثَهُ الله عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan
kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.
Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah
ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau
nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia menjawab, “Demi
Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang
khusus kecuali pemahaman al Qur’an yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu
Adi Dunya berkata, “Ilmu al Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti
lautan yang atk bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan diatas adalah alat bagi para mufassir al
Qur’an.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan al Qur’an,
berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya
telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa
arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya
Nubuwwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa
ilmu Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena
Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang
dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang
tidak akan mampu menafsirkan al Qur’an: (1) Orang yang tidak memahami bahasa
Arab; (2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu
akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al
Qur’an; (3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash. Jika ia
membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya),
maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Qur’an
dengan benar.
اللهمَّ أحْفظْنَا مِنْهُمْ
“Ya Allah, lindungilah kami dari mereka”
Hadits ke-9
عَن عَبدِ اللٌهِ بنِ عُمَرَ رَضَى اللٌهُ عَنُهمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَي اللٌه عَلَيِه وَسَلَمَ يُقَالُ لِصَاحِبِ القُرانِ اِقَرأ وَارتقٌ وَرَتٌلٌ كًما كُنتَ تُرًتٌلٍ فيِ الدُنيَا فَاِنٌ مَنزِلَكَ فيِ اخٍرِايَةُ تَقرَأهُا. (رواه أحمد والترمذي وأبو داوود والنسائي).
Dari Abdullah bin Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“(pada hari Kiamat kelak) akan diseur kepada ahli al Qur’an, ‘Bacalah dan
teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti yang engkau telah membaca dengan
tartil di dunia, karena sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang
engkau baca.” (Hr. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu
Haban)
Maksud ‘ahli al Qur’an dalam hadits ini adalah hafizh al Qur’an. Mulla Ali
Qari rah.a. menjelaskan bahwa keutamaan itu hanya diberikan
kepada hafizh al Qur’an, tidak termasuk orang yang membaca al Qur’an dengan
melihat nash. Alasannya adalah: pertama, karena lafazh itu
memang ditujukan kepada ahli al Qur’an. Kedua, sesuai dengan
hadits yang diriwayat oleh imam Ahmad,
حتَّى يقرا شيئاً منهُ
“…Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.”
Kalimat ini cenderung ditujukan kepada hafizh al Qur’an, meskipun ada
kemungkinan orang yang selalu membaca al Qur’an juga dapat termasuk di
dalamnya.
Disebutkan didalam kitab Mirqaat bahwa hadits ini tidak
berlaku bagi pembaca al Qur’an yang dilaknat oleh al Qur’an. Hal ini
berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa banyak orang yang membaca al Qur’an,
tetapi al Qur’an melaknatnya. Oleh sebab itu, banyaknya membaca al Qur’an yang
dilakukan oleh orang yang aqidahnya menyimpang tidaklah dapat dijadikan dalil
(bukti) bahwa ia adalah orang yang diterima disisi Allah. Banyak hadits semacam
ini yang membicarakan tentang kaum Khawarij.
Mengenai ‘tartil’, Syaikh Abdul Aziz (nawwarullaahu marqadahu)
menulis di dalam tafsirnya bahwa arti asal ‘tartil’ adalah
membaca dengan terang dan jelas. Sedangkan artinya menurut syar’I adalah
membaca al Qur’an dengan tertib seperti dibawah ini:
1. Setiap huruf harus diucapkan dengan makhraj yang benar, sehingga ط tha’ tidak dibaca تَta’ danضَ dha tidak
dibacaظ zha.
2. Berhenti pada tempat yang benar, sehingga ketika memutuskan atau melanjutkan
bacaan tidak dilakukan ditempat yang salah.
3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah,
kasrah dan dhammah dengan perbedaan yang jelas.
4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga al Qur’an
dapat mempengaruhi hati.
5. Memperindah suara agar timbul rasa takut kepada Allah, sehingga mempercepat
pengaruh kedalam hati. Orang yang membaca dengan rasa takut kepada Allah,
hatinya akan lebih cepat tepengaruh serta menguatkan nurani dan menimbulkan
kesan yang mendalam di hati kita. Menurut para ahli pengobatan, jika ingin obat
lebih cepet berpengaruh kehati, sebaiknya obat itu dicampur dengan wewangian.
Obat dapat lebih cepat berpengaruh ke lever jika dicampur rasa manis, karena
lever mempunyai rasa manis. Oleh sebab itu saya berpendapat, jika seseorang
memakai wewangian saat membaca al Qur’an, akan lebih menguatkan kesan dalam
hatinya.
6. Membaca dengan sempurna dan jelas setiap tasydid dan madnya.
Jika membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah serta
mempercepat masuknya kesan dalam hati kita.
7. Memenuhi hak ayat-ayat rahmat dan ayat-ayat adzab, seperti yang telah
diterangkan sebelunnya.
Itulah tujuh hal yang dimaksud tartil. Dan tujuan semua itu adalah satu, yaitu
agar dapat memahami dan meresapi isi kandungan al Qur’an.
Seseorang bertanya kepada Ummul Mu’minin, Ummu Salamah r.ha., “Bagaimanakah
Rasulullah saw. membaca al Qur’an?” Ia menjawab, “Beliau menunaikan setiap
harakatnya; fathah, dhammah, dan kasrah dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap
hurufnya dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan terang
dan jelas.”
Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami
artinya. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Membaca surat al Qari’ah
dan Idzaa zulzilat dengan tartil lebih baik bagiku daripada membaca al Qur’an
al Baqarah atau Ali Imran tanpa tartil.”
Alim ulama menjelaskan maksud hadits di atas, bahwa membaca al Qur’an huruf
demi huruf akan menaikan pembacanya setingkat demmi setingkat, sehingga itu
pula derajatnya di surge nanti. Dan orang yang terpandai dalam al Qur’an,
dialah yang tertinggi derajatnya. Mulla Ali Qari rah.a. menulis
bahwa tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada derajat orang yang suka
membaca al Qur’an. Pembaca al Qur’an senantiasa meningkat derajatnya sesuai
dengan taraf kebagusan bacaannya.
Allamah Dani rah.a. berkata, “Alim ulama telah sepakat bahwa
ada enam ribu ayat lebih dalam al Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang
jumlah selebihnya. Ada yang menyebutkan 6.204 ayat, 6.014 ayat, 6.019 ayat,
6.025 ayat, dan 6.036 ayat.
Dalam Syarah Ihya ditulis bahwa jumlah ayat al Qur’an itu
sesuai dengan tingkat surga, sehingga dikatakan kepada pembaca al Qur’an,
“Naiklah ke surga tingkat demi tingkat sebanyak ayat al Qur’an yang telah kamu
baca”. Barangsiapa yang membaca seluruh ayat al Qur’an, maka ia akan mencapai
derajat surge yang tertinggi di akhirat. Dan barangsiapa yang membacanya
sebagian saja, maka derajat sebatas bacaannya itu saja. Singkatnya, batas
ketinggian derajat seseorang bergantung kepada banyaknya bacaan Qur’annya.
Menurut pendapat saya, hadits diatas juga mengandung penafsiran lain.
فَانْ كان صَوَاباً فَمِنَ الله وَاِن كان خَطأً فَمِني وَمِنَ الشّيطانِ وَاللهُ وَرَسُوْلهُ بَريئانِ
“Apabila (penafsiran saya) betul, maka ia berasal dari Allah. Dan jika
salah, maka ia berasal dari diri saya sendiri dan dari syetan. Sedang Allah dan
Rasul-Nya terbebas darinya.”
Kenaikan derajat yang disebutkan dalam hadits diatas bukan bermaksud bahwa
membaca suatu ayat al Qur’an akan dinaikan suatu derajat. Sebab jika demikian,
hubungan antara membaca dengan tartil dan tanpa tartil tidak dapat dimengerti,
sehingga akan dipahami bahwa setiap membaca satu ayat al Qur’an, baik dengan
tartil ataupun tidak, maka derajatnya dinaikan satu tingkat. Sebenarnya hadits
ini mengisyaratkan satu peningkatan yang berbeda, yaitu peningkatan menurut
cara membacanya, sehingga ada perbedaan antara bacaan dengan tartil dan tanpa
tartil. Oleh sebab itu, barangsiapa membaca al Qur’an dengan tartil ketika di
dunia ini, dengan tartil itulah ia akan membacanya di akhirat., sehingga ia
memperoleh ketinggian derajat yang sesuai. Mulla Ali Qari rah.a.meriwayatkan
sebuah hadits, “Barangsiapa sering membaca al Qur’an di dunia, maka di akhirat
nanti ia akan dapat mengingatnya. Dan jika di dunia ia tidak membacanya, maka
ia tidak akan dapat mengingatnya di akhirat.” Semoga Allah memberikan
kemurahan-Nya kepada kita.
Banyak diantara orang tua yang bersemangat agar anak-anaknya menghafal al
Qur’an, namun karena ketidaktawajuhan dan kesibukan dunia, hafalan itu
terlupakan dan menjadi sia-sia. Padahal di sisi lain, beberapa hadits
menyebutkan bahwa barangsiapa berusaha menghafal al Qur’an dengan
sungguh-sungguh dan bersusah payah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan
membangkitkannya dalam golongan para huffazh. Kemurahan Allah
sungguh tidak berkurang jika kita berusaha memperolehnya. Seorang penyair
berkata,
“Wahai syahid, kemurahan-Nya untuk semua. Engkau tidak akan menolak
kemurahan ini, jika engkau benar-benar pantas.”
Hadits ke-10
عَن ابنِ مَسعُودٍ رَضيَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَى اللٌهُ عَلَي وَسَلَمَ مَن قَرَأ حَرفًا مٍن كَتَابِ اللٌه فَلَه بِه حَسَنَةُ وَالحَسَنَةُ عَشُرُ اَمُثَالِهَا لآ اَقُولُ الم حَرفُ وَلكِنُ اَلِفُ وَلآمُ حَرفُ وَميمُ حــَرُفُ. (رواه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح غريب اسنادا والدارمى)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu hasanah
(kebaikan) dan satu hasanah itu sama dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak
mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf
dan mim satu huruf.” (Hr. Tirmidzi).
Maksudnya, bahwa dalam amal ibadah lain, sesuatu ibadah itu baru dihitung
sebagai satu amalan jika dilakukan secara utuh (keseluruhan). Tetapi tidak
demikian dengan amalan membaca al Qur’an. Setiap bagiannya akan dinilai sebagai
satu amalan, sehingag membaca satu huruf pun tergolong satu hasanah (kebaikan).
Dan bagi setiap satu kebaikan itu Allah berjanji akan melipatkannya hingga
sepuluh kali, sebagaimana firman-Nya,
مَنْ جاء بالحسنة فلهُ عَشْرُ أمْثَالهِا......
“Barangsiapa membawa amalan baik, maka untuknya (pahala) sepuluh kali
lipat amalannya…”(Qs. Al An’am [6] :160)
Walau bagaimanapun, tambahan sepuluh kali lipat ini adalah yang terendah,
karena Allah swt. mampu melipatgandakan pahala dengan sekehendak-Nya,
والله يضاعف لمن يشاءُ....
“…..Allah menggandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia
kehendaki….” (Qs. Al Baqarah [2] : 261)
Permisalan bahwa setiap huruf al Qur’an dinilai satu kebaikan telah disabdakan
oleh Rasulullah saw. bahwa alif lam mim bukanlah satu huruf,
tetapi alif terpisah, lam terpisah, dan mim terpisah,
sehingga alif lam mim berisi tiga puluh kebaikan. Disini
terdapat perselisihan apakah yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan
surat al Baqarah atau permulaan surat al Fiil? Jika yang dimaksud adalah alif
lam mim permulaan al Baqarah, berarti hitungannya menurut jumlah huruf
yang tertulis. Karena yang tertulis hanya tiga huruf, maka pahalanya tiga
puluh. Dan jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan
surat al Fiil, berarti alif lam mim pada surat al Baqarah itu
Sembilan huruf (dengan menghitung jumlah huruf yang dilafazhkan), sehingga
menjadi Sembilan puluh pahala. Baihaqi meriwayatkan, “Aku tidak mengatakan
bahwa bismillah itu satu huruf, tetapi ba, sin, mim, dst.
adalah huruf-huruf yang terpisah.”
Saturday, August 26, 2017
August 26, 2017
MR: EDITOR
Waras Jeh
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment